Amman, Yordania, sheepofthought.com – Sama seperti pemikiran lain yang hadir disebabkan oleh fenomena sosial, liberalisme berkembang dalam era feodal Eropa ketika raja dan penguasa gereja bergenggam tangan dalam memperkaya diri di tengah kekangan pada rakyat yang tidak mendapat akses yang sama dan dalam penindasan. Fenomena ini akhirnya mengemukakan tokoh-tokoh yang memperjuangkan ide untuk melawan penindasan berdasarkan imej kebebasan yang mereka miliki (Zarksyi, 2009). Tokoh-tokoh seperti John Locke, Adam Smith, dan Montesquieu, adalah diantara pemikir awal yang membentuk dasar liberalisme seperti yang kita ketahui hari ini. Ide liberal bervariasi dan terus berkembang seiring bergantinya zaman, sebagai teori, liberalisme memiliki banyak pemikir dengan pengaplikasian yang berbeda. Proses liberalisasi adalah tujuannya dan telah berhasil di Eropa Barat dari segi sosial, politik, dan ekonomi.
Sebagai pemahaman yang berkembang dengan pesat, sudah tentu usaha bagi dunia Barat untuk mengekspor produk mereka menjadi sesuatu yang wajar, dipermudah oleh realitas bahwa dunia semakin mengglobal dalam zaman informasi, memudahkan kita untuk belajar dan dipengaruhi oleh norma dan budaya lain di seluruh dunia. Samuel Huntington mempresikdi bahwa perbenturan di abad ke-21 didorong oleh budaya (Huntington, 1997). Dalam artikel Huntington, perbenturan budaya yang akan berlaku secara dashyat adalah antara Barat dan Islam. Prediksi dipenuhi kritikan, secara realitas, perbenturan budaya merupakan fenomena yang berlaku pada masa ini dan adalah tantangan yang dianggap oleh ramai ahli akademik, pemerintahan, dan masyarakat umum sebagai sesuatu yang perlu diberi perhatian.
Perselisihan yang kerap terjadi di tengah generasi muda adalah soal ‘pemikiran’. Persoalan pemikiran bahkan dinilai lebih unggul dari persoalan sosial, ekonomi, dan politik, bahkan dianggap sebagai dasar dari ketiga-tiganya. Liberalisme dan proses liberalisasi memunculkan pro dan kontra. Sering kita mendengar seseorang diberi label ke dalam pemikiran tertentu, dan sering pemberian label ‘liberal’ yang diberikan berdasarkan apa yang orang itu tunjukkan dan cara dia memberi pendapat atas sesuatu isu atau bertindak terhadapnya. Apakah pemahaman generasi muda mengenai liberalisasi cukup menyeluruh dan berdasarkan pengetahuan dan fakta, atau berdasarkan definisi yang terlalu disederhanakan? Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa lebih baik mengkaji dulu suatu perkara dengan baik sebelum mengeluarkan sikap terhadapnya. Fenomena yang berlaku saat ini adalah kurangnya usaha memahami sesuatu dengan lebih baik, bukan untuk terpengaruh, tetapi untuk mengetahui hakikat sesuatu pemahaman seperti liberalisme, sehingga akhirnya pelabelan yang begitu disederhanakan dapat dihindari dan terhindar juga dari mengidolakan suatu pemikiran hanya kerana melihat faktor luaran. Adalah lebih bak jika sebelum kita memasuki topik tantangan liberalisasi kepada generasi muda atau perkara yang lebih umum seperti menilai pemikiran seseorang, supaya generasi mudah memahami dengan mapan dulu tentang apa yang dimaksud dengan liberasasi.
Literasi mengenai apa sebenarnya liberalisasi itu
Apakah semua perkara yang diperjuangkan atas nama liberalisasi itu sesuatu yang negatif dan menjadi tantangan yang harus dihadapi? Kembali kepada pernyataan Imam Al Ghazali yang menegaskan bahwa penting untuk mengkaji terlebih dahulu sebelum bersikap. Kenyataan itu juga bertujuan agar kita tidak melihat sesuatu terlalu umum dan mengambil kebaikan dari setiap konsep kefahaman yang wujud. Liberalisasi yang diekspor dari Barat permulaannya ialah pemahaman bahwa manusia dilahirkan bebas dan berhak untuk bebas dari belenggu penindasan. Begitu juga dalam hal perekonomian di mana pemahaman bahwa semua individu mempunyai peluang yang sama dan tidak harus dikawal dengan tangan besi dalam roda ekonomi, yang mewujudkan sistem ekonomi yang kini kita kenali sebagai kapitalisme. John Locke menegaskan bahwa selepas manusia dilahirkan, manusia sudah mempunyai hak yang mesti dipenuhi dan tidak boleh direngut, hak itu adalah ‘natural right’ (hak alami) (Heyman,2018) yang meliputi hak untuk hidup, hak memiliki, kebebasan beropini, beragama, dan berbicara.
Menganalisis fenomena saat ini, sejauh mana ‘hak alami’ dilaksanakan atau ditafsirkan oleh masyakarat, khususnya oleh generasi muda? Adakah makna hak alami yang diperkenalkan oleh John Locke memberi kewajaran untuk menembus batas-batas tertenru atas nama hak pribadi? Atau, apakah ada yang jika ditafsirkan oleh John Locke atau pemikir liberal pada zamannya, tidak akan menyeberangi hal-hal tertentu jika mengikut definisi hak alami yang mereka perkenalkan? Ini adalah diantara persoalan besar sebagai kritikan kepada proses liberalisasi saat ini dengan nilai dasarnya. Tantangan besar di sini juga ada dari segi pembatasan. Apakah pembatasan atau penindakan yang boleh dilakukan dalam zaman informasi ini? Pada zaman di mana pertukaran informasi dan perkembangan teknologi berlaku tanpa pembatasan ketat dari pusat. Dan kasus ‘pembatasan’ juga merupakan perkara yang diperdebatkan.
Pengalaman penindasan yang terjadi di foedal Eropa oleh raja dan pemimpin gereja, membuat orang seperti John Locke dan pemikir liberal yang satu zaman dengannya menjadi pesimis terhadap penguasa yang memiliki kuasa tidak terkawal dan juga peranan undang-undang teologi yang pada zaman itu digunakan untuk kepentingan pribadi. Keinginan untuk bebas dari kumpulan penguasa yang gagal memanusiakan manusia terus berkembang sehingga muncul apa yang kita kenali sebagai proses liberalisasi, yang dampaknya sampai kepada generasi muda, golongan terpelajar, golongan petani, dan lainnya di Eropa pada masa itu (Moore, 2002).
Maka proses liberalisasi dapat dikatakan sebagai pembebasan dari segala bentuk penindasan terhadap manusia. Tetapi apakah ‘pembebasan’ dari penindasan senantiasa membebaskan dari tindakan yang bertentangan dengan akhlak dan kemanusiaan? Atau apakah liberalisasi telah pergi terlalu jauh dalam usahanya untuk membebaskan manusia dari rantai penindasan dan sekatan manusia untuk ‘berkehidupan bebas’? Dalam liberalisasi, segala macam bentuk halangan kepada manusia hampir semuanya dilihat sebagai penindasan hak dan menentang kebebasan mereka sebagai individu. Tantangan yang dihadapi oleh generasi muda adalah kegagalan memahami perbedaan antara liberalisasi itu sendiri dengan pemahaman-pemahaman lain yang mempunyai kepentingan di belakangnya atau seiring dengannya dalam penyebaran liberalisasi.
‘Menampung’ Liberalisasi
Tidak mempunyai kesedaran tentang hal ini akan berdampak pada pefahaman generasi muda dalam melihat realitas yang sebenarnya berlaku, di mana apabila berlaku suatu ‘revolusi’ atas nama apa pun, di belakangnya ada golongan yang berkepentingan, dalam proses liberalisasi muncul kepentingan yang memperjuangkan sekularisasi dan westernisasi. Tantangan untuk membedakan dengan betul tentunya tidak mudah, karena hal ini bukan hitam dan putih, tetapi lebih kerap seperti abu-abu. Esai ini mengajak generasi muda untuk bertanya dan berfikir kembali, apakah pengalaman yang dilalui Barat saat proses liberalisasi dimulai mempunyai kaitan yang dengan situasi kita saat ini, terutama di regional Asia Tenggara? Apakah agama menjadi kekuatan persatuan yang mendorong manusia untuk terus bersama secara harmoni dan memerangi ketidakadilan (Muhibbudin, 2021), atau apakah agama itu sendiri yang menhadirkan ketidakadilan dan penindasan di regional kita?
Proses liberalisasi yang bertujuan untuk mejadikan generasi muda lebih sedar akan haknya sebagai manusia dan memahami hak yang mesti penguasa berikan kepadanya adalah satu gambaran yang baik sebagai kesadaran yang telah dikemukakan oleh ahli teori liberal. Tetapi liberalisasi yang bertujuan untuk menggantikan budaya yang dalam dunia hari ini penuh dengan pertembungan budaya seperti yang telah dinyatakan, adalah sesuatu yang mempunyai kesan yang kompleks. Apakah wajar bila generasi muda mengamalkan westernisasi karena budaya dan cara barat lebih terlihat unggul? Ini adalah tantangan yang sangat besar dan bertentanggan dengan fahaman komunalisme (communalism) identitas masing-masing. Level kenegaraan juga menganggap westernisasi sesuatu yang berpotensi menjadi tantangan serius, karena seiring berjalannya waktu, peranan negara sebagai penjamin tiga hak tidak akan diganti, yaitu; (1) keamanan fisik, (2) kesejahteraan ekonomi, dan yang terakhir (3) identitas nasional (Nye, 2007)
Menghadapi tantangan liberalisasi dengan ilmu
Pernyataan Imam Al-Ghazali bahwa lebih baik mengkaji suatu perkara dengan teliti sebelum mengeluarkan sikap terhadapnya, bermaksud agar kita tidak menutup ruang untuk mengakui adanya baik dan buruk dari suatu pahaman-pahaman. Sebagai generasi muda, tantangan berikutnya adalah untuk dengan teliti membedakan, dengan cara mengambil yang baik dan menggunakannya untuk kemajuan, dan tidak mengamalkan yang buruk. ‘Peradaban’ Barat sesungguhnya pada masa ini lebih unggul dari peradaban lain, melihatnya dari segi kemajuan teknologi dan modernisme rakyat, malahan ia menjadi ‘penunjuk arah’ kepada ‘peradaban’ lain untuk dapat mengambil bagian dalam keunggulan mereka dalam bidang ekonomi. Tetapi, jangan biarkan kebaikan westernisasi membuat generasi muda lupa akan kebaikan yang terkandung dalam budaya mereka yang boleh menjadi nilai tambah yang tidak dimiliki oleh budaya lain.
Tan Malaka menegaskan, ‘akuilah dengan yang putih bersih, bahwa kamu sanggup dan mesti belajar dari orang Barat. Tapi jangan jadi peniru orang Barat, tetapi seorang murid dari Timur yang cerdas, suka memenuhi kehendak alam dan seterusnya dapat melebihi kepintaran guru-gurunya di Barat’ (Malaka, 1926). Ideologi yang mayoritas hadir dan terkenal datangnya dari Barat mempunyai kelebihan yang boleh diambil dan kekurangan yang lebih baik dihindari karena barangkali telah wujud dalam masyarakat kita sendiri sesuatu identitas yang lebih baik untuk dipelihara demi kemaslahatan. Tan Malaka menyadarinya saat dia meminta pembaca untuk mengakui bahwa kita mesti belajar dari Barat, tetapi tidak menjadi peniru, namun seorang murid dari Timur yang tidak lupa dari mana asalnya. Tantangan yang boleh dibawa oleh liberalisasi kepada generasi muda adalah melahirkan generasi peniru yang lupa asal usul mereka.
Kesimpulan
Liberalisasi adalah satu proses yang boleh dengan cepat menyebar dalam era informasi ini, dan dalam apa yang disebut Huntington sebagai perbenturan budaya atau lebih dikenal sebagai ‘Clash of Civilizations’, kritikan datang dari Edward Said yang lebih memilih untuk menyebutnya ‘Clash of Ignorance’ (Said, 2001). Jika dikaitkan dengan tantangan liberalisasi khususnya kepada generasi muda di luar dunia Barat, adalah kesalahan dunia Barat dalam mengakui eksistensi budaya dan cara hidup di bagian lain dunia, dan mencari jalan untuk memperkenalkan bahkan memaksa jalan mereka kepada yang lain. Generasi muda mesti lebih banyak bertabayyun dalam menghadapi persoalan ini, mengambil kebaikan yang harus dan menjauhi keburukannya. Menjauhi keburukan bukan selalu berarti tidak memahami atau mengabaikan ‘keburukan’ itu, tetapi mengetahuinya dengan baik dapat dijadikan ‘senjata’ untuk kita mengabaikan keburukan yang ada dan mengantisipasinya.
Referensi
Huntington, S.P. (1997). The clash of civilizations and the remaking of world order. New York: Touchstone
Heyman, S., 2018. The Light of Nature: John Locke, Natural Rights, and the Origins of American Religious Liberty. Marquette Law Review, [online] 101(3), pp.747-754. Available at: <https://core.ac.uk/download/pdf/159471161.pdf> [Accessed 13 September 2022].
Malaka, T., 1926. Aksi Massa. Singapore: Teplok Press.
MOORE, J. W. (2002). The Crisis of Feudalism: An Environmental History. Organization & Environment, 15(3), 301–322. http://www.jstor.org/stable/26162192
Muhibbudin, A., 2021. Liberalisasi Pemikiran Islam dan Kritik Terhadap Islam Liberal. Tahdzib Al-Akhlaq, 4(2), pp.81-91.
Nye, J., 2007. Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History. 6th ed. Massachusetts: Pearson longman, pp.261-281.
Said, E., 2001. The Clash of Ignorance. [online] The Nation. Available at: <https://www.thenation.com/article/archive/clash-ignorance/> [Accessed 12 September 2022].
Zarkasyi, H., 2009. Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis. Jurnal Tsaqafah, [online] 5(1), pp.1-26. Available at: <https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/view/145> [Accessed 19 September 2022].