Pemaksaan menjadi Perlawanan

Amman, sheepofthought.com – Adanya pemerintah bermakna adanya undang-undang untuk mewujudkan ‘ketertiban’. Ketertiban yang berdasarkan definisi pemerintah. Dalam beberapa kasus, undang-undang penerapannya dipaksakan kepada massa, memaksakan ketaatan pada undang-undang atau menerima konsekuensi atas ketidakpatuhan. Namun bagaimana jika yang dipaksakan pada akhirnya menciptakan perlawanan? Karena setiap ada aksi pasti ada reaksi.  Menelusuri kembali sejarah, kita dengan mudah memahami bahwa perlawanan besar dari massa terjadi setelah penguasa melakukan pemaksaan. Dampak negatif dari suatu pemaksaan tidak selalu instan disadari atau dirasakan, terkadang diperlukan suatu tokoh populis yang menjadi ‘korban atau penggerak’ untuk mendorong massa untuk sadar akan dampak negatif dari paksaan penguasa, sehingga tercipta kubu perlawanan yang bertujuan untuk membebaskan diri dari rantai yang coba mengikat atau telah terikat.  

            Penulisan ini akan mengemukakan dua macam perlawanan massa dan dampaknya, yaitu; (1) perlawanan dengan kekerasan (violent resistance) dan (2) perlawanan tanpa kekerasan (non-violent resistance), yang dilakukan massa sebagai reaksi terhadap pemaksaan oleh penguasa.

            Beberapa hari lalu, rakyat Iran dihebohkan dengan kematian Masha Amini, wanita berusia 22 tahun yang meninggal dunia karena penganiayaan dalam penahanan kepolisian . Masha Amini ditahan karena dianggap oleh ‘polisi moral’ Iran (morality police) tidak menggunakan jilbab dengan benar. Pihak kepolisian menolak tuduhan itu dan menyatakan bahwa Masha Amini meninggal dunia di rumah sakit akibat serangan jantung (Chappell & Hernandez, 2022). Undang-undang menggunakan jilbab bagi perempuan ditempat umum berlaku semenjak berjayanya Revolusi Islam Iran 1979, perlawanan terhadap undang-undang ini dari sebagian besar rakyat Iran telah lama terjadi, peristiwa pembunuhan Masha Amini seakan-akan telah mencapai puncak perlawanan itu, karena pihak berwajib dianggap tidak serius dalam mengeluarkan sikap. Reaksi keras kepolisian terhadap demonstrasi membuat massa untuk membalas kekerasan sehingga situasi tak terkontrol. Saat penulisan ini diterbitkan, perlawanan dengan kekerasan untuk menuntut keadilan bagi Masha Amini, begitu juga penghapusan undang-undang yang mewajibkan jilbab sedang terjadi (Lipin, 2022).

            Kembali kepada topik penulisan ini, ‘pemaksaan berubah menjadi perlawanan’, penulis tidak menggunakan contoh diatas sebagai justifikasi atau memulai argumen mengenai relevansi jilbab. Namun contoh diatas menunjukkan seberapa jauh kekerasan dapat berlaku, sesederhana seperti perintah berpakaian. Peristiwa ini telah menghadirkan kesadaran bagi mayoritas masyarakat Iran bahwa hal seperti ini bisa terulang jika langkah konkrit tidak diambil. Maka apakah ‘pemaksaan’ dari penguasa dengan mengikatnya secara hukum dan menggerakannya dengan tangan besi, dalam kasus ini dan kasus-kasus serupa lainnya, adalah hal yang pantas atau wajar?

            Setiap negara berbeda kebijakan, dan secara bertanduk perbedaan wujud dari penerapan sistem antara kediktatoran, kuasa kolonial, semi-demokratis, atau demokratis, diiringi juga dengan sub sistem lainnya. Dilain pihak, formula yang berbeda-beda juga wujud dalam perlawanan terhadap penguasa yang melakukan tindakan pemaksaan. Kasus-kasus pemaksaan menjadi perlawanan juga bervariasi seperti hak tanah adat yang dijadikan lokasi perindustrian, akibatnya mempersatukan orang asli untuk melakukan perlawanan. Begitu juga gerakan hak migran untuk melindungi para migran dari tindakan yang dianggapnya tidak adil dan tidak berprikemanusiaan seperti upah yang kurang dan perbudakan moderen (Aitchison, 2018) Atau ketidakadilan dalam pemilu, seperti penolakan terhadap diadakannya pemilu atau hasil pemilu, yang pada akhirnya menciptakan perlawanan yang berujung pada perang saudara.  

            Analisis untuk setiap perlawanan bervariasi, setiap perlawanan massa memiliki dinamika yang berbeda. Yang pasti adalah, dua cara yang ditempuh sebagai sikap perlawanan,yaitu; (1) dengan kekerasan atau (2) tanpa kekerasan (non-violent). Kekerasan bermakna melawan ‘pemaksaan dengan pemaksaan’, sehingga dalam banyak kasus harus terdapat pihak yang menang, dan kondisi yang berpeluang besar untuk terus bereskalasi tanpa rekonsiliasi. Contoh bisa dilihat dari sejarah revolusi besar yang sangat berpengaruh di dunia Barat, yaitu Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis yang melibatkan kenaikan drastis pajak yang dipaksakan kepada rakyat yang akhirnya menggerakkan rakyat untuk merdeka atau menjatuhkan rezim. Contoh lainnya adalah perlakuan rezim orde baru kepada tanah adat Papua Barat yang mendorong kepada meningkatnya perjuangan separatisme pada periode itu. Seperti halnya dalam kasus di Iran yang telah dijelaskan, kekuatan fisik (physical forces) [tangan besi] untuk memaksakan kehendak kepada yang dikuasai berpeluang untuk balik dilawan dengan kekerasan.

Perlawanan tanpa kekerasan, secara moral tujuan perlawanan ini dapat dijustifikasi. Namun untuk mencapai tingkat non-violent diperlukan suatu kesadaran moral dan kesabaran yang tinggi. Suatu kepercayaan bahwa terlepas dari kekerasan yang rezim (atau penguasa) lakukan, terdapat kelunakan. Metode tanpa kekerasan yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi telah membuat kolonial Inggris bertanya-tanya dan menyesali penjajahan yang dilakukan di India. Mengandalkan hati nurani lawan daripada bentuk paksaan apa pun, atau tidak melawan paksaan dengan paksaan (Aitchison, 2018). Perbedaan penting, perlawanan tanpa kekerasan akan mendorong ‘pihak pemaksa’untuk berargumen secara rasional, akan tetapi di saat yang sama penampilan lunak dapat dianggap sebagai kelemahan yang mudah dieksploitasi karena tidak dipandang sebagai ancaman yang serius. Sementara perlawanan dengan kekerasan akan memperkecil kemungkinan untuk argumen secara rasional terjadi, tetapi di saat yang sama akan mendapatkan reaksi dari pihak penguasa, meskipun reaksi itu dalam banyak kasus adalah physical forces.

  Hakikat dari ‘paksaan dan perlawanan’ adalah sesuatu yang substansial saat membedah atau menyelidiki kasus-kasus yang melibatkan pihak yang menaklukkan dan ditakluki, karena hampir di setiap perlawanan, itu terhasil karena suatu paksaan, dan paksaan itu akan nampak secara langsung dan nyata. Peristiwa perlawanan massa yang berlangsung di Iran memiliki kompleksitasnya sendiri, karena subjek yang menjadi perhatiannya meliputi isu keagamaan, hak wanita, jenis rezim, dan kebebasan berekspresi.  

Referensi  

Aitchison, G., 2018. (Un)civil disobedience. Paris: Raisons Politique, pp.45-61.

Chapell, B. and Hernandez, J., 2022. Why Iranian women are burning their hijabs after the death of Mahsa Amini. [online] NPR. Available at: <https://www.npr.org/2022/09/21/1124237272/mahsa-amini-iran-women-protest-hijab-morality-police#:~:text=Police%20reject%20the%20allegations%2C%20saying,her%20death%20would%20be%20investigated.> [Accessed 21 September 2022].

Lipin, M., 2022. Iran Cracks Down Violently on Nationwide Protests; at Least 6 Killed. [online] VOA. Available at: <https://www.voanews.com/a/iran-cracks-down-violently-on-nationwide-protests-at-least-6-killed-/6757670.html> [Accessed 21 September 2022].

Writer: Muhammad Ihsan Sandjaya ihsansandjaya@gmail.com  
Editor: Hanif Abdurahman Siswanto hanif@sheepofthought.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *