Amman, sheepofthought.com – Terjadinya demonstrasi menunjukkan kekritisan rakyat terhadap kebijakan pemerintah dan isu-isu yang dipercaya membawa dampak buruk. Demonstrasi adalah aksi yang wajar di negara demokrasi. Namun mesti kah kita memandang demonstrasi hanya pada lingkup idealnya? Tentu kebebasan berekspresi harus dipertahankan dan diperkuat karena kedaulatan berada di tangan rakyat. Pemerintahan baik eksekutif dan yudikatif perlu dikawal oleh rakyat, transparansi dalam penyampaian informasi kepada rakyat mesti diperbaiki agar rakyat tak membangun opini yang tidak berdasarkan fakta. Alasan munculnya amarah rakyat adalah informasi yang belum resmi dinyatakan telah resmi oleh badan atau figur dalam pemerintahan yang tidak berhati-hati dengan lisannya. Menurut penulis, baik yang memerintah dan yang diperintah mesti sama-sama berbenah.
Berapa persenkah dari yang ikut demo tahun lalu untuk melawan ‘Omnibus Law’ benar-benar paham isi, fungsi, dan alasan mengapa Omnibus law itu diwacanakan dan akhirnya disepakati? Meskipun belum ada survei yang mengkaji, banyak diantara masyarakat, terutama mahasiswa, yang hanya memahami omnibus law sekedar dari media sosial dan karena melihatnya sebagai suatu tren untuk ditentang. Demi ‘solidaritas’ tanpa melakukan penilaian dengan bijak. Ikut berdemo menentang sesuatu yang mereka tidak pasti apa yang ditentang. Penulis, tanpa berpihak baik ‘pro’ maupun ‘anti’ kepada suatu isu atau otoritas, akan berfokus kepada reaksi mahasiswa dalam isu demonstrasi yang sering kali mereka pimpin.
Demonstrasi, baik di Indonesia atau di luar negeri, banyak yang dalam prosesnya akan memicu rusaknya sarana dan prasana umum. Selain itu, akan mengeluarkan biaya bagi negara, karena harus mengaktifkan aparat berwajib untuk menjamin keamanan dan keterbitan. Keamanan dan ketertiban disini bukan berarti mengusir atau menangkap pendemo, tetapi memastikan tidak ada kekerasan dalam bentuk apapun yang dijalankan oleh pendemo dan menangkap mereka yang melewati batas wajar. Seringkali kita mendengar di berita, jika yang diinginkan oleh mahasiswa adalah berdialog dengan otoritas berwajib, hal itu kadang disetujui dan kadang tidak. Jika dialog disetujui, gambar-gambar mahasiswa yang selama ini kita lihat saat mahasiswa di dalam dewan dimana dialog itu akan atau sedang berlangsung, tidak mencerminkan pihak yang ingin berdialog, malah menghilangkan definisi ‘dialog’ itu sendiri. Justru yang terlihat hanya seperti suatu ‘penaklukkan’, secara sarkasnya. Bukankah sudah saatnya bagi yang berwajib dan mahasiwa (bagian dari rakyat) untuk sama-sama menunjukkan hormat? Pertanyaan yang baru penulis nyatakan terdengar sangat menjijikkan bagi beberapa kalangan, tetapi itu adalah pertanyaan yang sangat serius. Karena diantara karakter negara yang demokrasi (atau yang mengaku demokrasi) adalah untuk melihat oposisi (tidak bersepahaman) dengan kita sebagai ‘sama’ dengan kita atau oposisi sebagai ‘opisisi’, bukan sebagai musuh yang mesti dikutuk dan tidak layak diberikan hormat. Bersaing dalam isu-isu yang fundamental, bukannya hanya bersikap militan, menjadikan kesempatan dialog untuk ikut serta terlibat, dan dalam prosesnya diharapkan terbuka suatu kompromi dari yang berseteru. Tentu lebih gampang diucapkan daripada dibuat.
Jika melihat fenomena yang berlaku saat ini, anak-anak muda terutama yang masuk kategori mahasiswa, menjadikan penghinaan, kebencian, atau penolakan kepada otoritas yang ada sebagai sesuatu yang harus terus ada dan diajarkan kepada generasi mahasiswa berikutnya. Apakah saat ini itulah yang menggambarkan kekritisan dan kepeduliaan kepada masa depan negara? Ada potensi yang perlu dikhawatirkan. Karena mahasiswa selain dari segi prestasi mahasiswa (pemuda) untuk berjuang dan membawa pencapaian yang baik dan kemampuan bersaingnya, potensi dijadikannya mahasiswa suatu ‘alat’ untuk mendukung aspirasi barisan-barisan tertentu bisa terjadi secara mereka tidak sadari. Mahasiswa harus bergerak bersama rakyat, bukan bergerak bersama barisan-barisan sakit hati yang tidak kebagian kursi kekuasaan, baik itu individu ataupun kelompok, baik yang non-partai ataupun partai. Kembali lagi kepada poin sebelumnya mengenai ‘tren’, apakah ada motif politik di dalamnya? Mahasiswa memang harus cerdik berpolitik, terutama yang belajar dilingkup ilmu sosial, tetapi suatu kesalahan jika keberpihakan mahasiswa adalah politis, baik secara tidak sadar ataupun sadar, karena keberpihakan mahasiswa adalah kepada keadilan, kepada rakyat.
Sikap emosional adalah sesuatu yang kerap kali diutamakan oleh mahasiswa, karena itulah yang akan paling sering ditemukan di media sosial. Sudah bukan rahasia lagi bahwa media adalah sesuatu yang dapat menentukan perilaku suatu individu dan dapat menggerakan individu. Sikap emosional di sini juga bermaksud sikap irasional, kita mesti lebih rasional dalam menilai, bahkan jika penilaian itu bukanlah sesuatu yang sifatnya mayoritas, sekali lagi, penulis tidak merujuk pada apapun isu tetapi lebih kepada cara berfikir, menilai, dan bertindak yang harus lebih diutamakan.
Writer: Muhammad Ihsan Sandjaya ihsansandjaya@gmail.com Editor: Hanif Abdurahman Siswanto ihanif.2711@gmail.com