Setiap tahun pada tanggal 1 Desember, kampanye mengenang peristiwa kemerdekaan Papua Barat tahun 1961 disebarluaskan baik di Indonesia dan mancanegara, terutama di negara Kepulauan Mikronesia dan negara Barat. Keinginan berbagai kelompok yang enggan menerima proses panjang yang telah berlaku yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa Papua Barat adalah wilayah tak terpisah dari Indonesia terus-menerus hadir dari satu generasi yang mengingatkan generasi berikutnya. Retorika yang bahkan menyatakan bahwa pemerintah Indonesia adalah pemerintahan fasis dan rasis yang hanya berkepentingan untuk mengorek sumber daya alam Papua Barat tanpa mempedulikan nasib masyarakatnya. Jelas adalah retorika ini berlebihan, namun ironisnya, telah menjadi sesuatu yang menyentuh emosional secara hitam dan putih, dan diterima oleh ramai orang secara mentah tanpa pengetahuan yang lebih mendalam tentang proses sejarah yang sangat kompleks ini.
Dalam memandang proses sejarah yang komplek ini, perlu diketahui bahwa Belanda enggan melepaskan wilayah jajahannya kepada pemerintah Indonesia yang baru berdiri dan tidak kenal kompromi dalam hal kemerdekaan dan kedaulatan. Perlu diketahui bahwa Belanda memiliki kepentingan di wilayah-wilayah mantan jajahannya di Nusantara, yang secara bertahap melalui diplomasi dan peperangan direbut oleh Indonesia. Perlu diketahui bahwa Indonesia secara terus-menerus diserang baik secara internal dan eksternal, dan selalu berjuang untuk kemerdekaan (revolusi) yang seutuh-utuhnya, yang dalam hal ini terutama mencakup kemerdekaan mantan wilayah jajahan Balanda, dan umumnya mencakup kemerdekaan bangsa-bangsa lain di Nusantara termasuk Malaysia, Filipina, dan Brunei.
Sehingga akhirnya pada tahun 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Namun sebelum itu, Belanda telah berulang kali berusaha untuk membagi Indonesia menjadi tiga entitas, yang dalam buku sejarah dikenal sebagai ‘negara-negara benoka’, upaya yang berulangkali di tolak, begitu juga penolakan untuk menjadikan Indonesia negara persemakmuran (commonwealth) Belanda. Jika kita menelusuri persetujuan 1949, Belanda sudah tidak memiliki wewenang untuk mengelola administrasi di ‘Indonesia’, akan tetapi, Belanda yang telah mengakui kedaulatan Indonesia tetap memperkuat posisinya di Papua Barat, yang merupakan tancapan terakhir Belanda. Berulang kali Belanda menolak untuk melaksanakan perundingan khusus untuk merundingkan nasib administrasi Papua Barat. Sehingga Pada tahun 1954, Belanda semakin enggan dengan mengirimkan surat resmi kepada pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwa pemerintah Belanda tidak lagi tertarik membahas masalah Papua Barat karena merasa memiliki hak untuk menjalankan administrasi di sana. Usaha terus dilakukan sehingga akhirnya Belanda memfasilitasi persiapan kemerdekaan Papua Barat pada tanggal 1 Desember 1961. Presiden Soekarno yang mengutuk langkah itu mengeluarkan kebijakan yang tegas dengan menyerukan Tri Komando Rakyat (TRIKORA), yaitu pembebasan Papua Barat dengan menggerakkan militer.
Perlu ditegaskan bahwa dalam ruang lingkup internasional di periode Perang Dingin, Indonesia di akhir tahun 1950an sudah tidak memiliki hubungan yang baik dengan Amerika Serikat dan Blok Barat, namun bersahabat dekat dengan Uni Soviet yang mendukung operasi TRIKORA dan banyak menyediakan persenjataan kepada Indonesia. Hal ini membuat Amerika Serikat, Australia, dan Inggris dari Blok Barat khawatir dengan Indonesia dibawa kepemimpinan Presiden Soekarno yang memiliki hubungan harmonis dengan Uni Soviet dan persenjataan yang kuat. Dimasa kepemimpinannya, Presiden Soekarno berkali-kali menyerukan gagasan dan ide anti-kolonialisme dan anti-imperialisme Barat, serta berulang kali dalam kesempatan koferensi internasional seperti Konferensi Asia-Afrika di tahun 1955, mengajak bangsa-bangsa lain untuk BERDIKARI.
Indonesia meyakini bahwa Belanda telah melanggar Pasal 1 Konstitusi Belanda sebagaimana telah diubah pada tahun 1948 yang menyatakan bahwa Kerajaan Belanda, menegakkan Indonesia sebagai satu kesatuan, dan tidak pernah menganggap Papua Barat secara terpisah. Bukti tersebut dan bukti historis lainnya dijadikan landasan untuk memperkuat Indonesia dalam perseteruan ini yang diselesai di peringkat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang pada akhirnya memenangkan Indonesia (Perjanjian New York, 1962), dengan syarat Indonesia wajib mengadakan proses ‘Freedom of Choice’ bagi rakyat Papua Barat saat keadaan telah stabil, sesuatu yang telah Indonesia lakukan di tahun 1969 dibawa pemerintahan Presiden Soeharto, yang prosesnya juga menghadirkan kontroversi.
Dengan konfrontasi yang terjadi antara Indonesia dan Belanda di tahun 1960an, masyarakat Papua pun terbagi menjadi dua kubu yang juga mengakibatkan munculnya gerakan-gerakan separatis di kalangan masyarakat asli Papua yang beroperasinya bahkan sampai saat ini, serta munculnya kelompok-kelompok sosial politik yang berbeda pandangan. Penulis membaginya kepada tiga pandangan yaitu; (1) pandangan bahwa orang asli Papua terpisah dari Indonesia karena mereka berasal dari akar Melanesia, sehingga aspirasi ‘Indonesia Raya’ tidak ada hubungannya dengan orang asli Papua, (2) pandangan bahwa Belanda telah memberikan proses penentuan nasib sendiri kepada rakyat Papua Barat, yang bermakna Papua Barat memiliki kesatuan dan entitas yang berbeda dengan Indonesia, dan (3) pandangan bahwa Papua Barat adalah bagian dari Indonesia Raya, yang berarti kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan seluruh wilayah bekas Hindia Belanda dengan satu entitas yang tunggal.
Perjanjian New York menjadi kesimpulan dan hasil dari proses panjang yang telah berlaku antara Indonesia dan Belanda atas status Papua Barat, namun dalam perjanjian itu perwakilan independen dari Papua Barat tidak dilibatkan, hal ini mewujudkan polemik berkelanjutan. Akan tetapi, pertanyaan sebenarnya adalah; Apakah berpisah dari Indonesia adalah suatu langkah yang mesti ditempu oleh Papua Barat demi mewujudkan Papua yang maju dan sejahtera? Jika memang jawaban untuk pertanyaan itu adalah ‘ya’, maka pemerintahan seperti apa itu? Siapa yang akan memimpin? Faktanya, diantara fraksi pro-kemerdekaan terjadi perebutan kekuasaan yang menghasilkan perkelahian hingga berakhir dengan kematian, hal yang jika berlanjut dapat mewujudkan perang saudara yang panjang jika kemerdekaan itu benar-benar terjadi. Keterlibatan pihak eksternal dalam aspirasi pro-kemerdekaan Papua Barat tetap hadir seperti halnya ia hadir dahulu. Adalah tugas pemerintah Indonesia untuk mewujudkan Papua yang maju dan sejahtera, sesuatu yang telah difokuskan dalam dekade terakhir, bukan untuk menyakinkan pihak luar atau bentuk propaganda, tetapi karena Papua Barat adalah satu dengan Indonesia.
Referensi
Aziz, M. (2017). Merawat Kebinekaan: Pancasila, Agama, dan Renungan Perdamaian. Elex Media Komputindo. Jakarta: Kompas Gramedia.
Chomsky, N. (2015). How the World Works: Empat Karya Klasik Real Story dalam Satu Jilid. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Hamka. (1963). Dari perbendaharaan lama. Inter Documentation Company.
Hidayat, M. (2004). Questioning the Unquestionable: An Overview of the Restoration of Papua into the Republic of Indonesia. New York: Permanent Mission of the Republic of Indonesia to the United Nations.
Jackson, R., Sørensen, G., & Møller, J. (2016). Introduction to international relations: theories and approaches. Oxford University Press, USA.
Lev, D. S., & McVey, R. (2008). Menjadikan Indonesia: Dari Membangun Bangsa Menjadi Membangun Kekuasaan. Jakarta: Hasta Mitra.
Nasution, N. (2017). Dinamika Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Insan Cita.