Pembentukan negara Israel mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat dan merupakan suatu dasar yang mulai menghadirkan anti-Amerikanisme dalam skop yang luas. AS memberikan bantuan baik secara ketentaraan dan perekonomian kepada Israel dalam peperangannya menghadapi bangsa-bangsa Arab, konfrontasi ini lalu dikenal sebagai Perang Arab-Israel. Israel pada awal pembentukannya menikmati aliansi yang sangat baik dengan AS, aliansi itu membuat bangsa-bangsa Arab gagal dalam misi mereka untuk menghadang pembentukan negara Israel, demi mendorong hadirnya negara Palestina yang merdeka. Hubungan Israel dan AS diperkuat lagi dengan dibentuknya American Israeli Public Affairs Committee (AIPAC). Namun, yang membuat lebih luas idea anti-Amerikanisme adalah peristiwa-peristiwa yang berlaku diawal abad ke 21. Menurut Dodge (2012), dokrin Presiden George Bush dan kejadian setelah peristiwa invasi Irak adalah yang telah mendorong sentimen anti-Amerikanisme ke level yang lebih besar. Dominasi dan pengaruh yang AS mainkan di Timur Tengah, ditambah dengan proteksi yang diberikan kepada Israel yang menjalani kepentingan AS di Timur Tengah. Maka hadir persepsi bahwa ini merupakan suatu upaya geopolitik AS Timur Tengah, upaya untuk memperkenalkan dan menanamkan ideologi dan prinsip AS, semua itu memiliki permulaan yang fundamental semenjak invasi Irak tahun 2003.
Setelah peristiwa 11 September, kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah pada umumnya fokus kepada perang melawan terorisme (war on terror) dan mengatasi pembangunan weapons of mass destruction (WMD) untuk dimiliki oleh negara-negara di Timur Tengah. Dengan kebijakan ini, AS lebih aktif dalam operasi countrer-terrorism, segala upaya dilakukan untuk menggulingkan kekuasaan yang dinilai memiliki koneksi atau mendukung jaringan terror, atau membangun senjata pemusnah massal. Tuduhan yang Presiden George Bush yang berikan kepada Irak dibawa Saddam Hussein yang dianggap memiliki koneksi dengan Al Qaeda dan berusaha menciptakan WMD, berakhir dengan keputusan AS untuk menginvasi Iraq ditahun 2003. Mayoritas anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setuju dengan perang yang AS lancarkan di Afghanistan, namun mengutuk denga keras tuduhan dan deklarasi perang yang AS lancarkan melawan Irak untuk menggulingkan Saddam Hussein. Invasi AS terhadap Irak telah mendorong sentimen anti-Amerikanisme ke skala global dan mempertanyakan niat utama AS dalam invasi yang dianggap tidak terarah itu. Faktanya, tidak ada bukti bahawa Irak memiliki koneksi dengan Al Qaeda dan sedang membangun WMD, setelah di lakukan pemeriksaan oleh PBB (Venter, 2007).
Kegagalan AS dalam membuktikan tuduhan yang dilontarkan kepada Irak berakhir dengan kecaman internasional. Invasi yang menghasilkan ketidakstabilan jangka panjang (hingga sekarang) telah mengakibatkan banyak korban dan telah menghasilkan perebutan kekuasaan antara berbagai fraksi yang didukung berbagai negara, telah menciptakan ketikdakstabilan jangka panjang. Usaha AS mempromosikan demokrasi dan 'membebaskan' rakyat dari rezim tiran demi mewujudkan pemerintahan demokratis adalah sesuatu yang bisa AS mulai di manapun, tetapi tidak semua bisa dipertahankan (Zakaria, 2002). Keberhasilan militer AS di Irak tidak bisa dianggap sebagai keberhasilan politik. Di Afghanistan baru-baru ini, setelah keberhasilan Amerika Serikat 20 tahun silam juga tidak bisa dianggap sebagai keberhasilan politik. Pemerintahan Taliban telah kembali mengambil alih kekuasaan, kekuasaan yang AS tidak mampu lama pertahankan.
Dalam konflik Israel dan Palestina, AS sempat memosisikan diri sebagai mediator konflik, namun AS seakan-akan telah keluar dari posisi itu dan tidak mampu untuk menemukan suatu solusi yang dapat disetujui oleh Israel dan Palestina. Pemerintahan Donald Trump yang memutuskan untuk secara menyeluruh mengakui Baitul Maqdis (Yerusalem) sebagai ibu kota Israel adalah satu diantara banyak kebijakan yang tidak dapat memosisikan AS sebagai sang mediator. Kecaman dari negara-nagara Islam melalui OIC, ditambah lagi dengan mayoritas negara anggota PBB yang tidak menerima usulan itu, bahkan datang dari aliansi dekat AS di Eropa Barat.
Popular cultures AS telah bertahun-tahun mempresepsikan Timur Tengah sebagai regional yang terbelakang, penuh konflik, ketidakstabilan, dan memerlukan pengaruh dan bantuan AS dari segi ekonomi dan politik (Dodge, 2012). Presepsi AS terhadap Timur Tengah dalam popular cultures berakhir dengan meluasnya pahaman anti-Amerikanisme dikalangan masyarakat dan pemerintahan, didukung juga dengan kemajuan progresif yang dialami oleh negara-negara Arab, terutama; Uni Emirat Arab, Qatar, Arab Saudi, dan Yordania, membuktikan bahwa popular culture itu salah. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pemerintahan yang mampu mewujudkan kestabilan seperti yang dijanjikan oleh AS pasca invasi tidak hadir, salah satu faktornya adalah keengganan AS dalam memahami dinamika yang penting dalam masyarakat dan negara-negara Arab, diantaranya budaya, norma, dan prinsip. Kritik dan kecaman tak hanya datang dari negara mayoritas Muslim atau bangsa Arab, karena dunia internasional juga secara terang-terangan mengecam kebijakan-kebijakan tersebut yang telah terbukti menghadirkan ketidakstabilan sosioekonomi dan politik.
Ditulis oleh,
Ihsan Sandjaya
Referensi
Dodge, T. (2012). US Foreign Policy in the Middle East. In Cox, M. & Stokes, D. (Eds.), US Foreign Policy (2nd ed.). New York: Oxford University Press
Solarz, S.J., Wolfowitz, P.D., Chollet, D., Satloff, R., Clowson, P., & Eisenstadt, M. (1999). How to Overthrow Saddam. Council of Foreign Relations, [online] 78(2), pp. 160-163. Retrieved from https://www.jstor.org/stable/20049265 [Accessed 24 Oct, 2018]
Venter, A.J. (2007). Allah’s Bomb. The Islamic Quest for Nuclear Weapons. Washington: The Lyons Press
Zakaria, F. (1997). The Rise of Illiberal Democracy. In Hoge, J.F. & Rose, G. (Eds.), America and the World: Debating the New Shape of International Politics. New York: W.W. Norton & Company